Selasa, 02 Juni 2009

Soal Ibu Prita dan Kebebasan Kita

Saya betul-betul prihatin membaca halaman depan Kompas yang mengulas tentang ibu Prita Mulyasari yang dipenjara karena curhatnya lewat email. Tentu saja karena persoalan ini telah membuka mata saya dan banyak orang bahwa kebebasan orang untuk mengeluhkan sesuatu yang dirasa tidak adil masih menjadi barang mewah di negara kita yang mengaku berdemokrasi. Apalagi hal ini juga berarti hak-hak konsumen sebenarnya belum benar-benar dilindungi negara. Saya juga membaca kalau tidak salah di majalah tempo minggu kemarin tentang ibu yang lagi-lagi dipenjara karena menulis surat pembaca di sebuah koran. Namun, tidak mendapat perhatian seluas Ibu Prita.

Ada belasan ribu orang memberi solidaritas kepada Ibu Prita bahkan mengajak memboikot rumah sakit tersebut segala. Wah, mantap juga komentar-komentarnya kelas menengah Indonesia di facebook. Bahkan kasus ini jadi sebuah diskusi-diskusi tentang masih rentannya demokrasi di indonesia di belahan dunia.

Ada banyak hal yang masih bolong-bolong dalam hukum kita yang membuka celah setiap hak asasi menjadi terbatasi. Sebelumnya, saya juga menyaksikan direktur Walhi Berry N. Furqon dan staffnya Erwin Usman ditahan dan diadili di Manado karena membuat konferensi tandingan World Ocean Forum. Alasannya belum mendapat ”surat izin”. Padahal, sebenarnya kewajiban hukumnya hanya membuat surat pemberitahuan. Sementara tanda terima surat pembitahuan tak juga diberi polisi. Begitu juga yang dialami oleh Sri Bintang Pamungkas yang hendak membuat acara Kongres Golput, tak ada izin dari kepolisian! Yang paling mengerikan tentusaja yang terjadi di Bali. Wartawan dibunuh karena berita..

Terus terang, lewat kasus Ibu Prita membuat saya dan mungkin banyak orang menjadi deg-degan juga kalau hendak menulis komentar berita, menulis blog dan menulis di mailist. Istilah zaman Orba dahulu disebut self cencorship. Selayaknya para penegak hukum segera bersepakat mengenai kasus-kasus begini. Sudah semestinya hal yang perdata diselesaikan dengan hukum perdata bukan pidana. Hal-hal yang sudah diatur secara khusus mestinya MA segera membuat edaran sebagai kasus yang diatur dalam Lex Specialis. Jadi para hakim gak sepenuhnya diombang-ambing dalam logika pengacara apalagi diombang-ambing oleh duit.

Iwan Nurdin
3 Juni 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sebaiknya rumah sakit kita belajar banyak dari kasus ini. pasien sudah semakin paham hak-hak mereka.