Senin, 22 Juni 2009

Hadiah Mobil dari Sabun Cuci

Minggu lalu, saya mendapat kunjungan famili dari desa. Kedatangan yang mendadak dan terasa sangat penting karena ditemani oleh Kepala Desa. Keperluannya hendak mengambil hadiah mobil grand livina.

Waktu menjemput mereka di terminal Kampung Rambutan, saya juga begitu gembira mendengar kabar baik ini. Bayangkan sebuah mobil yang harganya di atas seratus juta rupiah. Sambil memberi ucapan selamat saya tanya mau dipakai apa mobil begitu soalnya pajaknya selain mahal juga tidak cocok untuk di kampung yang jalan aspalnya sangat buruk.Ia menjawab bahwa ini mungkin rezeki jabang bayinya yang masih di perut. Waw, benar sambut saya, jabang bayi memang selalu mendatangkan rezeki.


Saya tanya siapa yang kasih hadiah. Sabun Cuci merk Bu Krim, katanya. Istrinya membeli sabun cuci merk bu krim dan dari dalam kemasan terdapat pengumuman bahwa ia mendapatkan sebuah hadiah mobil.

Saya diberi unjuk tentang kertas pengumuman tersebut. Saya mulai tahu ini penipuan. Sebab, kertas pengumumannya adalah kertas print warna biasa. Panitia hadiah undian ini juga salah menulis info menjadi inpo kemudian nomor yang dituliskan dalam lembar undian adalah nomor flexi plus nomor hape.

Yang semakin aneh, ternyata setelah ditelepon panitia mewajibkan untuk mentransfer sejumlah uang. Anehnya lagi, kalau tidak segera mentransfer uang hadiah angus. Saya bilang ke famili dari desa bahwa ini penipuan. Jadi lupakan saja hadiah mobil. Tapi kalau mau lebih yakin ya check di alamat yang tertera. Sorenya setelah dicheck oleh pak kades dan "pemenang" terbukti bahwa undian tersebut memang palsu.

Pak Polisi, segera ringkus sindikat penipuan ini!

Jumat, 19 Juni 2009

LIBURAN

Saya berasal dari desa. Menghabiskan masa SD di tahun 80-an. Tapi, buku-buku SD dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia mengajarkan tentang liburan ke desa. Aneh juga. Mungkin para pembuatnya adalah orang-orang kota. Saya yakin, dimasa itu penduduk Indonesia sebagian besar berada di pedesaan. Bahkan sampai sekarang. Namun tetap diajarkan untuk berlibur kedesa.

Hal lucu yang kerap saya ingat biasanya setelah libur panjang teman-teman sekelas termasuk saya, diminta bu guru menuliskan pengalaman berlibur kesuatu tempat dalam mata pelajaran mengarang. Padahal, bu guru tersebut seperti juga teman-teman sekelas adalah tetangga saya sendiri. Jadi, beliau tahu persis kami tidak mengenal pergi liburan ketempat manapun. Kami hanya menghabiskan waktu dengan bermain-main. Apalagi ada banyak musim mainan yang kami tidak tahu siapa yang mengatur musimnya. Ada musim kelereng, musim main tembak-tembakan, musim gasing, musim kartu wayang,dll.

Sekarang, hampir tidak ada lagi liburan ke desa. Sebab, liburan sekarang bagi anak-anak kampung berarti pergi ke Mall yang menyediakan beragam alat permainan berbayar dengan teknologi terkini. Pusat-pusat liburan juga lebih banyak di kota. Sementara, bagi yang duitnya berlebih bisa pergi ke luar negeri.

Liburan memang selalu menyenangkan. Kawasan Puncak di Bogor bahkan harus mengatur lalu lintas dengan sistem buka tutup mengingat membludaknya pengunjung. Lagi-lagi kalau ada uang berlebih, dengar-dengar dari bisik tetangga bahwa anda bisa menyewa pengawalan polisi untuk menembus kemacetan. Jadi seperti pejabat penting yang hendak menghadiri rapat penting. Asik juga. Anda boleh coba siapa tahu menambah pengalama berlibur anda he he he

Kamis, 11 Juni 2009

Mahalnya Pendidikan

Saya beruntung sudah lulus kuliah. Meskipun masih terus menyimpan keinginan untuk terus sekolah, niat itu harus saya urungkan terlebih dahulu. Apalagi sekolah S.2 sekarang terbilang mahal. Mencari beasiswa juga bukan perkara mudah sekarang.

Bulan Juni sampai awal Juli memang membuat orang tua yang hendak meneruskan pendidikan anaknya pusing tujuh keliling. Awal tahun pelajaran baru berarti pengeluaran untuk biaya pendidikan membengkak luar biasa. Belum lagi bagi fresh graduater SMU/SMK yang berniat masuk PTN, selain sibuk mempersiapkan ujian, biaya masuk PTN juga dan sangat mahal. Belum lagi nantinya harus mengeluarkan biaya pemondokan, buku, pakaian, transport. Menurut Sindhunata, sekolah telah menghabiskan air mata orang tua.

Lepas dari mahal, pendidikan nasional kita banyak yang bilang terlalu banyak yang diajarkan kepada siswa didik dan rendah mutunya. Sekolah jadinya bikin anak-anak didik pada stress.

Mahal, selain didorong kebijakan pemerintah untuk menjadikan Universitas menjadi badan hukum pendidikan (maksudnya perusahaan gitu loh). Padahal, dengan mutu yang pas-pasan, sumber daya yang terbatas, maka sumber pendanaan pasti dari mahasiswa. Jadilah SPP semakin mahal.

Kalau sudah begini, maka yang jadi korban kelak juga masyarakat luas. Bukankah masyarakat yang akan memakai jasa dokter, lawyer, akuntan, insinyur dan birokrat, lulusan universitas. Kebayangkan, kita menikmati pelayanan yang bermutu rendah dan mahal karena mereka hanya berpikir untuk mengembalikan uang biaya pendidikannya. Celakanya mungkin mudah dibeli profesionalitasnya.

Tapi optimisme harus tetap ada. Di Sumatera Selatan, komponen pendidikan dari SD sampai SMU sudah gratis baik sekolah negeri atau swasta. Semoga virusnya menjalar ke provinsi lain. Kalau kesadaran dari bawah, maka pemerintah pusat tidak akan bisa macam-macam nantinya. Semoga saja...

Soalnya pemerintah pusat kita aneh. Baru bisa bikin gratis anak sekolah SD dan SMP iklannya nanti bisa jadi pilot dan wartawan. Mana ada lulusan SMP di zaman sekarang jadi pilot dan wartawan. Biasanya jadi TKI dan Pembantu.

Minggu, 07 Juni 2009

Ribut-Ribut Tentang Ambalat

Ambalat saya kira memang begitu mudah menyulut kemarahan kita sebagai bangsa. Bukan apa-apa Malaysia itukan Negara kecil tapi bikin kita keki terus-terusan karena mereka lebih sejahtera. Sementara kita sebagai bangsa besar, penduduk besar, penduduknya terkenal tak pernah kompromi soal kedaulatan, sejarah masalalu yang gemilang, kok diam saja diperlakukan secara kurang ajar oleh Malaysia.

Presiden SBY mengajak menyelesaikan masalah Ambalat dengan diplomasi. Boleh, diplomasi adalah jalan yang beradab. Namun, politik luar negeri adalah kepanjangan tangan dari politik dalam negeri. Jadi posisi nasional kita harus jelas dan tegas. Apalagi sebagai negara kepulauan kita mempunyai dasar hukum UNCLOS. Jadi soal-soal pengetahuan demikian harus banyak diperkuat dan diperluas dimasyarakat. Agar diplomasi pemerintah kita tidak ”menipu” masyarakat kita sendiri. Bukan apa-apa, pemerintah kita pernah menjual aset-aset penting nasional seperti kapal pertamina, indosat, telkom, kontrak merugikan di ladang minyak, tapi sambil terus bicara nasionalisme. Pembodohan semacam ini juga karena pengetahuan soal-soal strategis tidak berkembang luas di masyarakat.

Terakhir, entah inisiatif darimana, karena tidak ada angin tidak pula rencana, pemerintah secara jumawa mengajak negara-negara tetangga bikin inisiatif Coral Triangle Initiative (CTI) yang bisa menjadi landasan baru dalam kesepakatan internasional untuk memasukkan Malaysia sebagai sebuah negara kepulauan (masih prediksi kasar saya sih).

Hmm, setelah dipikir-pikir, bangsa Indonesia itu sendirian di kawasan ini. Tanpa teman. Sebab, kalau Malaysia diserang, Australia dan Singapura ada perjanjian saling membantu. Nah, kalau dah Australia ikut-ikutan berarti Inggris Raya dan NATO juga secara hukum boleh ikutan. Sudah tahu begini, petinggi TNI kita kerap kali harus berkongkalikong dengan pemasok senjata dari luar negeri. Sebab, kalau pesan alat yang sudah bisa dibuat oleh di PT.PAL dan Pindad atau PT.DI kagak ada komisinya. Begitu barangkali ya.

Persoalan dengan Malaysia juga diwarnai dengan persoalan TKI yang kerap membuat posisi kita menjadi bulan-bulanan Malaysia. Masalah TKI selalu diselesaikan secara tambal sulam. Bukannya menyelesaikan problem pedesaan yang akut sebagai rumah asal TKI. Malah meributkan tentang Malaysia yang dianggap tidak tahu terimakasihlah, soal nasionalisme rakyat kadang dihembus-hebuskan supaya rakyat ikut-ikut marah ke Malaysia bukannya menjewer kuping pemerintah.

Ya, sudahlah. Masih banyak pe-er untuk membuat bangsa kita punya kebanggaan besar terhadap negeri , tanah air dan orang-orang yang hidup diatasnya. Kita telah memilih menjadi negara demokrasi supaya segenap persoalan bisa disuarakan dan setiap warga turut urun rembug dan usul untuk memperbaikinya. Meskipun belum ada yang merangkumkan segenap usulan tersebut menjadi sebuah visi menjadi bangsa besar dalam 10 atau duapuluh tahun kedepan. Sampai sekarang, komponen pemerintah saja masih berjalan sendiri-sendiri.

Meskipun kita punya pemerintah yang buruk. Saya masih sangat percaya dengan 250 juta rakyat Indonesia. Dia butuh disapa dengan tepat untuk bangkit bersama.

Sabtu, 06 Juni 2009

Tawuran

Anda mungkin masih ingat bahwa ada semacam "tradisi" tawuran tahunan antara fakultas fisip dan teknik di Universitas Hasanudin, Makassar. Kata orang-orang, itulah yang menyebabkan Fakultas teknik dipisah jauh dari kampus induknya.

Di Jakarta, ada tawuran yang terbilang terjadi hampir setiap bulan antara UKI dan YAI di Salemba. Kerapkali, tawuran ini sampai menutup jalan ujung Diponegoro yang merupakan pintu masuk RSCM. Selain pengunjung RS, banyak kendaraan yang terjebak juga kena getahnya. Rusak kena lemparan batu.

Bukan hanya kampus, antar kampung juga kerap tawuran. Dulu, kawasan Berlan di Matraman juga sering heboh dengan tawuran. Kalau sekarang yang masih sering kampong di dekat stasiun Manggarai. Di tempat lain, seperti Lombok (saya lupa nama desanya) ada dua desa bersebelahan yang sudah hampir sepuluh tahun selalu terlibat tawuran antar kampung. Belum lagi kalau kita tambah dari laporan media massa tentang tawuran antar desa di kawasan Cirebon, Indramayu dan Tegal. Ajaib juga, kadang teritori yang membatasi antar kampong yang tawuran adalah rel kereta, parit , selokan, dan lapangan bola. Tawuran skala massal yang sudah mengarah ke perang sipil juga pernah terjadi di Maluku, Sambas dan Poso.

Apakah sebagian besar bangsa kita sebenarnya gemar dengan kekerasan. Mungkin saja. Ya, sekali saja “peperangan” disulut sulit sekali bara api itu padam. yang besar-besar malah butuh ratusan tahun. Saya jadi ingat cerita-cerita tentang sulitnya orang sunda totok menika dengan orang jawa totok menikah lantaran zaman dahulu ada perang Gajah Mada dengan Prabu Siliwangi. Atau, persaingan Makassar dan Bugis karena terbebani perang masalalu di masa Aru Palaka.

Meski demikian, harus selalu diciptakan peluang membangun hubungan baru yang setara dari kelompok-kelompok yang tawuran. Dan, kalau mengharap polisi semata tidak akan pernah berhasil. Mungkin butuh para intelektual. Tapi bukankah pusat penggemblengan intelektual alias kampus sedang tawuran.
Hmmm…

Kamis, 04 Juni 2009

Wangsa Wani Wijaya


Saya memberi nama anakku Wangsa Wani Wijaya. Harapanku dia tumbuh besar menjadi anak laki-laki yang pintar, berani, humoris, dan jujur. Nama ini saya yakini mewakili doa, harapan dan cita-cita saya tersebut.

Kamis 26 Maret 2009, ia lahir di Jakarta Medical Centre (JMC) Jakarta Selatan. Ia lahir tepat pada saat umat hindu di Bali sedang merayakan hari raya nyepi, dan orang-orang di Situ Gintung menderita dan bersedih luar biasa karena diterjang air bah akibat tanggul Situ Gintung jebol.

Hari ini, saat saya menulis blog ini, usia anakku sudah 71 hari. Dua minggu terakhir ini, Awang- demikian anakku biasa kupanggil- sudah tidak ”jetlag” lagi. Maksudku, dia sudah bisa tidur di malam hari. Biasanya, ia tertidur pulas di siang hari dan malam hari dia terbangun. Sekarang ritme tubuhnya sudah mulai bisa membedakan siang dan malam.

Sebelum lahir, saya dan istri melihat video tentang Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Menakjubkan. Sayang waktu Awang lahir, ia tidak diperbolehkan IMD. Perawatnya memberi alasan karena bayiku dah lemas sebab terlalu lama di jalan lahir (hampir empat belas jam sejak ketuban pecah) dan waktu lahir dibantu dengan vakum. Tak apalah.

Dua hari setelah pulang dari RS, kami memeriksakan Awang. Rencananya untuk vaksin. Ternyata bilurubin-nya (benar gak nulisnya?) dianggap tinggi sekitar 12 lebih. Bayiku kuning. Jadi kata DSA harus disinar. Sehari semalam ia disinar di dalam box dengan mata ditutup rapat. Saya tak tega waktu ia diambil darahnya, apalagi ditusuk jarum dua kali karena gagal menemukan nadi.

Setelah penyinaran itu, sekarang ia tumbuh sehat minum asi ekslusif. Semoga selalu sehat ya nak, panjang umur. Jadilan pemberani, pintar, jujur dan humoris sebab itulah jalan rezeki dan kemuliaan dewasa ini. Saya tidak tahu dimasa besarmu nanti.

Iwan Nurdin

Mendengar Jamkesmas

Orang tua angkat saya, pak Sugandi dari Batang Jawa Tengah beberapa bulan yang lalu mengabarkan bahwa orangtuanya sakit prostat dan harus dioperasi. Saya segera membayangkan betapa mahalnya beliu harus membayar Rumah Sakit ketika itu. Namun, dia mengatakan hanya keluar uang 110 ribu. Sebab, ada program Jamkesmas dari pemerintah. Syukurlah.

Tetangga saya, juga memberitahu bahwa suami pengasuh anaknya harus operasi hernia. Ia sangat terbantu dengan program jamkesmas. Saya tidak tahu persis Jamkesmas itu apa. Kalau tidak salah Jaminan Kesehatan Masyarakat yang diperuntukkan bagi keluarga miskin di seluruh negeri. Saya kira ini program sangat mulia dan harus diteruskan dan diperluas jangkauannya.

Dua pengalaman yang saya dengar ini membuat lega juga. Setidaknya ada juga program pemerintah yang langsung membuat orang-orang seperti pak gandi bisa tersenyum. Meskipun, tentusaja harus diperiksa dengan teliti seberapa luas jangkauannya dan mengapa sosialisasi program ini belum merata.

Kesehatan dan pendidikan adalah program yang sangat mendasar bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Saya jadi terpikir, mengapa program ini belum menjangkau masyarakat yang tidak bisa masuk dalam kategori miskin oleh pemerintah lantaran ketatnya kategori miskin yang diterapkan. Apakah tidak ada rencana meluaskannnya menjadi sebuah asuransi kesehatan massal masyarakat. Sehingga setiap KK bisa ditanggung oleh Jamkesmas.

Ada begitu banyak orang yang rentan miskin di Indonesia ini, dan kalau ia sakit langsung modal usaha dan tabungannya ludes untuk membayar rumah sakit. Semoga telah dipikirkan mereka-mereka yang di atas, ya.Atau jangan-jangan sudah tapi saya yang kurang informasi?

Iwan Nurdin.

Selasa, 02 Juni 2009

Soal Ibu Prita dan Kebebasan Kita

Saya betul-betul prihatin membaca halaman depan Kompas yang mengulas tentang ibu Prita Mulyasari yang dipenjara karena curhatnya lewat email. Tentu saja karena persoalan ini telah membuka mata saya dan banyak orang bahwa kebebasan orang untuk mengeluhkan sesuatu yang dirasa tidak adil masih menjadi barang mewah di negara kita yang mengaku berdemokrasi. Apalagi hal ini juga berarti hak-hak konsumen sebenarnya belum benar-benar dilindungi negara. Saya juga membaca kalau tidak salah di majalah tempo minggu kemarin tentang ibu yang lagi-lagi dipenjara karena menulis surat pembaca di sebuah koran. Namun, tidak mendapat perhatian seluas Ibu Prita.

Ada belasan ribu orang memberi solidaritas kepada Ibu Prita bahkan mengajak memboikot rumah sakit tersebut segala. Wah, mantap juga komentar-komentarnya kelas menengah Indonesia di facebook. Bahkan kasus ini jadi sebuah diskusi-diskusi tentang masih rentannya demokrasi di indonesia di belahan dunia.

Ada banyak hal yang masih bolong-bolong dalam hukum kita yang membuka celah setiap hak asasi menjadi terbatasi. Sebelumnya, saya juga menyaksikan direktur Walhi Berry N. Furqon dan staffnya Erwin Usman ditahan dan diadili di Manado karena membuat konferensi tandingan World Ocean Forum. Alasannya belum mendapat ”surat izin”. Padahal, sebenarnya kewajiban hukumnya hanya membuat surat pemberitahuan. Sementara tanda terima surat pembitahuan tak juga diberi polisi. Begitu juga yang dialami oleh Sri Bintang Pamungkas yang hendak membuat acara Kongres Golput, tak ada izin dari kepolisian! Yang paling mengerikan tentusaja yang terjadi di Bali. Wartawan dibunuh karena berita..

Terus terang, lewat kasus Ibu Prita membuat saya dan mungkin banyak orang menjadi deg-degan juga kalau hendak menulis komentar berita, menulis blog dan menulis di mailist. Istilah zaman Orba dahulu disebut self cencorship. Selayaknya para penegak hukum segera bersepakat mengenai kasus-kasus begini. Sudah semestinya hal yang perdata diselesaikan dengan hukum perdata bukan pidana. Hal-hal yang sudah diatur secara khusus mestinya MA segera membuat edaran sebagai kasus yang diatur dalam Lex Specialis. Jadi para hakim gak sepenuhnya diombang-ambing dalam logika pengacara apalagi diombang-ambing oleh duit.

Iwan Nurdin
3 Juni 2009

Soal Pesawat Jatuh


Kemarin, Tanggal 1 Juni 2009 pesawat Air France hilang dalam penerbangan dari Rio de J Brazil menuju Paris. Pesawat yang nahas tersebut kabarnya membawa penumpang lebih dari 200 orang. Bagi saya, ini adalah berita menakutkan. Sebab saya adalah orang yang selalu tidak pernah nyaman alias takut kalau menggunakan moda transportasi burung besi ini.

Saya kerap harus rewel dengan penumpang sebelah saya yang tidak juga mematikan telepon genggamnya saat berada di dalam pesawat. Padahal, sudah ada pengumuman untuk mematikan hape dan perangkat elektronik. Mungkin pengumuman "anda tidak diperkenankan mengaktifkan telepon genggam dan perangkat elektronik lainnya selama dalam di dalam pesawat karena akan mengganggu sistem komunikasi dan navigasi pesawat" tidak cukup bagi para penumpang apalagi awam.

Harapan saya kata-kata tersebut diganti. Sebab, kesannya gangguan komunikasi dan navigasi bagi awam seperti saya seperti gangguan pendengaran dan penglihatan (he he he). Mungkin perlu ditambah penjelasan kalau navigasi rusak dan terganggu apa akibatnya begitu juga kalau komunikasi terganggu bahayanya apa.

Soal penumpang memang kerapkali membuat saya tidak tenang dalam menggunakan pesawat. Sebab, beberapa kali dalam perjalanan tugas, saya seringkali bersama para penumpang yang tidak menelepon, ber-sms selama berada di ruang tunggu. Ketika sudah boarding dan berada di dalam pesawat semua menjadi manusia sibuk yang lagaknya akan merugi triliunan rupiah kalau tidak segera bertelepon. Belum lagi penumpang yang memang sengaja menyembunyikan hapenya saat pramugari lewat di dalam tas. Baru kemudian sibuk sms-an lagi ketika pramugari sudah melewatinya. Huh, kalau sudah berketemu dengan penumpang macam begini saya mau tak mau menegur. Padahal, akibat menegur berarti selama penerbangan kita akan terlibat "perang dingin" dengan orang disebelah kursi kita.

Sudah selayaknya sekarang Departemen Perhubungan, KNKT, Depkominfo, membuat iklan yang mendidik para penumpang pesawat, kapal laut, bahkan bus kota. Soalnya, daripada bikin iklan narsis melulu, saya kira lebih baik bikin iklan sosialisasi yang mendidik masyarakat luas kita. Kebetulan sebagian besar kita belum banyak yang peduli dengan sopan santun lalulintas.

Saya pikir perusahaan angkutan umum apakah pesawat, kapal laut dll yang kerap mendapatkan kecelakaan selain karena tidak menerapkan sistem keselamatan dengan benar juga karena kita para penumpang yang tidak terlalu peduli dengan unsur keselamatan.

Akibat kurang peduli, tidak mau tahu, mudah lupa dengan perusahaan yang melupakan standar keselamatan dengan baik, kita akhirnya abai dalam mengkonsumsi layanan publik. Tak ada perusahaan yang langsung dijauhi penumpang ketika mereka kita rasakan menurunkan standar keselamatan. Apalagi pilihannya memang tidak banyak. Huh pusing deh.

Iwan Nurdin
Jakarta, 2 Juni 2009.